Luvmelove.com – Fenomena transactional trap baru-baru ini banyak diperbincangkan di media sosial setelah istilah “selain donatur dilarang ngatur” ini ramai dan memicu pro dan kontra. Lantas apa itu transactional trap dalam suatu hubungan? Bagaimana dampak dan cara menghindari terjadinya transactional trap? berikut kami rangkumkan informasinya.
Bagaimana Transactional Trap Bekerja?
Transactional trap adalah fenomena ketika seseorang berada dalam situasi di mana hubungan dibangun atas dasar pertukaran materi, bukan cinta sejati atau komitmen. Sayangnya, dalam fenomena ini, materi yang diberikan seperti uang, hadiah, atau fasilitas dari pasangan sering kali menjadi alat manipulasi, yang kemudian berkembang menjadi alat kontrol seiring waktu. Awalnya, segala pemberian tersebut mungkin tampak sebagai bentuk perhatian atau kasih sayang. Namun, pada akhirnya, pemberian itu berubah menjadi sarana untuk mengontrol keputusan pribadi, gaya hidup, hingga kebebasan sosial seseorang.
Evi Delviana, psikolog sekaligus dosen di Universitas Kristen Indonesia, menjelaskan hubungan yang berpondasikan transactional trap dapat menghilangkan unsur ketulusan, merusak pola pikir mengenai hubungan yang sehat, dan menurunkan rasa berharga diri. Ia menambahkan bahwa hilangnya ketulusan atau kesukarelaan dalam hubungan terjadi ketika seseorang merasa harus membalas pemberian dengan tindakan tertentu, bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena merasa berutang atau terpaksa.
“Hubungan yang terjebak dalam pola transactional trap bisa menimbulkan ketergantungan emosional. Hal ini menciptakan pola pikir yang keliru tentang konsep hubungan yang sehat. Seseorang bisa menganggap bahwa ukuran sebuah relasi adalah seberapa besar ia memberi atau berkorban karena pasangannya telah memberikan sesuatu terlebih dahulu,” ujar Evi. Ia menambahkan, “Dalam kondisi seperti ini, seseorang dapat kehilangan harga diri dan kendali atas dirinya. Ia merasa tidak mampu berkata ‘tidak’, dan lama-kelamaan kehilangan jati diri, nilai hidup, serta penghargaan terhadap diri sendiri.”
Dalam hubungan romantis, fenomena transactional trap sering kali melibatkan ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan. Dalam situasi ini, perempuan kerap merasa berutang budi karena menerima dukungan materi, sehingga terjebak dalam siklus ketergantungan emosional dan finansial. Akibatnya, mereka bisa kehilangan hak untuk menyampaikan pendapat dan merasa harus mengikuti keinginan pasangan. Rasa takut kehilangan keuntungan yang telah diberikan membuat korban sulit keluar dari hubungan tersebut. Ketergantungan ini dapat merusak rasa percaya dan keintiman dalam hubungan, hingga akhirnya menjadikannya lebih menyerupai transaksi bisnis daripada relasi cinta yang tulus.
Self-love sebagai solusi
Namun, di balik fenomena ini, self-love adalah kunci untuk menghindari jebakan tersebut. Ketika seseorang mencintai dan menghargai dirinya sendiri, mereka tidak akan mudah terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, termasuk hubungan yang hanya didasarkan pada apa yang bisa diberikan dan diterima secara materi.
Aurelia Vizal, seorang influencer, turut menanggapi fenomena transactional trap yang ramai dibicarakan melalui istilah “selain donatur dilarang ngatur”. Dalam salah satu kontennya, ia mengingatkan pentingnya kemandirian dalam menjalin hubungan.
“Jangan bergantung sama cowok, jangan bergantung sama siapa pun. Bergantunglah pada diri sendiri. Karena kalian tahu nilai kalian lebih dari sekadar mereduksi diri menjadi objek yang bisa dibeli. Kalian adalah manusia yang utuh, punya banyak keinginan, banyak ambisi. Kalian butuh seseorang yang bisa memberi kalian rasa saling menghargai, nilai hidup yang sejalan, serta mendukung keputusan, cita-cita, dan hobi kalian. Itu jauh lebih penting daripada sekadar melihat isi dompet,” ujar Aurelia.
Untuk itu, berikut beberapa cara dalam menerapkan self-love, agar tidak terjebak dalam transactional trap:
1. Mengenali Nilai Diri
Sebagai psikolog, Evi menjelaskan bahwa self-love dimulai dari cara seseorang memandang dirinya sendiri.
“Self-love penting diajarkan sejak dini. Seseorang perlu belajar bahwa keberadaan dirinya tidak tergantung pada apa yang pernah diberikan orang lain. Sejak lahir, setiap orang memiliki nilai dan layak dihargai. Masa lalu atau kondisi tertentu tidak menentukan nilai diri kita,” ujar Evi.
Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa dibeli dengan uang atau hadiah. Perempuan yang mencintai dirinya sendiri akan mencari pasangan yang menghargainya secara emosional, bukan hanya secara materi.
2. Menetapkan Batasan dalam Hubungan
Hubungan yang sehat harus didasarkan pada kesetaraan dan rasa hormat. Jangan ragu untuk mengatakan “tidak” jika suatu kondisi mulai terasa seperti bentuk kontrol.
“Kita mengasihi diri sendiri dengan terus berupaya mengembangkan diri, salah satunya melalui peningkatan kemampuan komunikasi asertif,” jelas Evi.
“Jika sebelumnya kita cenderung pasif, kita bisa belajar untuk berani menyampaikan pikiran dan perasaan, terutama saat mengatakan ‘tidak’ tanpa menyakiti orang lain. Ketika seseorang memiliki kemampuan komunikasi asertif, ia tidak mudah terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat,” tambahnya.
3. Meningkatkan Kesadaran akan Hubungan yang Sehat
Lingkungan yang sehat mendorong kita untuk menciptakan hubungan yang sehat pula. Relasi yang sehat membantu kita mengenali tanda-tanda hubungan tidak sehat sejak awal, sehingga dapat menghindarkan kita dari jebakan transactional trap.
“Pilih lingkungan yang muatannya positif, cari support system yang mendukung. Kita harus bisa melakukan substitusi atas hal yang hilang. Misalnya, jika dukungan keluarga tidak kita dapatkan, maka carilah komunitas positif yang dapat mendorong kita untuk membangun diri,” jelas Evi.
“Artinya, memang lingkungan sangat memengaruhi pola pikir, kebiasaan, tindakan, bahkan keputusan kita,” tambahnya.
4. Membangun Kemandirian Finansial
Belajar mengelola keuangan sendiri dapat membantu menghindari ketergantungan pada pasangan dalam hal materi. Dengan memiliki penghasilan sendiri, seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya.

Devina
Luvmelove's Author