Source: https://www.freepik.com/

Ketika Perhatian jadi Perangkap: Waspadai Child Grooming

Luvmelove.com – Istilah grooming kembali menjadi sorotan publik setelah munculnya kasus publik figur yang menjalin hubungan asmara dengan kekasih yang masih di bawah umur. Remaja memang rentan terjebak dalam hubungan grooming karena perkembangan emosinya yang belum stabil, minimnya pemahaman tentang batas relasi sehat, serta kurangnya pendampingan dari orang dewasa. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan child grooming? Mengapa pelaku kerap berhasil membuat remaja merasa nyaman dan percaya? Berikut penjelasan yang penting untuk diwaspadai.

Mengapa Remaja Rentan?

Masa remaja merupakan fase krusial dalam perkembangan psikologis seseorang. Pada tahap ini, remaja tengah mencari identitas diri dan pengakuan sosial. Mereka cenderung menunjukkan emosi yang labil dan rentan terhadap pengaruh eksternal. Karena itu, psikolog menilai bahwa ketidakstabilan emosi di usia remaja menjadi pintu masuk utama terjadinya child grooming sebagai bentuk relasi yang tidak sehat. Child grooming adalah proses manipulatif yang dilakukan seseorang secara perlahan dengan membangun kedekatan emosional terhadap anak, remaja, atau individu di bawah umur sebagai korban, dengan tujuan mengeksploitasi secara seksual atau emosional.

Evi Delviana, seorang psikolog anak dan remaja, menjelaskan bahwa pelaku grooming memanfaatkan fase pencarian jati diri ini dengan cara membangun kedekatan emosional secara bertahap. Mereka kerap tampil sebagai sosok yang perhatian, suportif, memberi perlindungan, dan memahami kebutuhan korban. Hal ini menciptakan rasa percaya dan ketergantungan emosional. Ketika kepercayaan dan rasa ketergantungan itu sudah terbentuk, pelaku mulai menurunkan batasan dalam hubungan dengan cara-cara yang halus. Mereka mulai meminta perhatian lebih, menuntut kesetiaan, bahkan menuntut pengabdian dan mendorong perilaku yang melampaui batas kewajaran.

“Makanya penting sekali untuk mengedukasi kepada anak dan remaja sesuai usianya. Karena child grooming tidak terjadi satu kali langsung dekat, jadi ada tahapan dimana mungkin awalnya ringan, hanya dalam bentuk sapaan terus kemudian akhirnya membangun interaksi yang lebih intensif lagi, kemudian mulai di analisis kebutuhan si anak ini apa aja. Ketika pelaku tau kebutuhan terbesarnya, dia akan memfasilitasi kebutuhan itu sehingga secara psikologis merasa sangat dimengerti dan dipahami”.

Pentingnya Edukasi Relasi Sehat, Self-Worth, dan Self-Love

1. Relasi positif antara orang tua dengan anak

    Evi Delviana, psikolog anak dan remaja, menjelaskan bahwa edukasi sebaiknya dimulai dari keluarga. Orang tua dapat membangun kedekatan dengan anak melalui kebiasaan mendengarkan tanpa menghakimi, mengajukan pertanyaan terbuka, dan berbagi pengalaman pribadi. Di sisi lain, anak juga perlu didorong untuk berani menyampaikan perasaan tidak nyaman atau bingung yang mereka alami.

    “Jika remaja datang dari keluarga yang punya kedekatan dengan anak-anaknya, ketika anaknya dalam fase remaja dan dalam eksplorasi diri mereka bisa bertanya kepada orang tuanya baiknya tuh gimana, tapi kalo anak datang dari keluarga tidak punya hubungan yang lekat dengan orangtuanya ketika mereka mengalami kebingungan kesulitan dalam mengeksplorasi dirinya mereka akan cari ke tempat-tempat lain, seperti media sosial, orang di luar keluarga yang tidak bisa dipercaya, sehingga bisa meningkatkan potensi terjadinya child grooming,” ujar Evi.

    2. Mengedukasi tentang batasan atau boundaries

      Tak hanya dari lingkungan keluarga, sekolah juga memiliki peran penting, terutama melalui guru bimbingan dan konseling. Peran ini mencakup mengajarkan pentingnya menjaga harga diri dengan menetapkan batasan dalam hubungan sosial.

      “Remaja perlu diajarkan tentang konsep relasi yang sehat dan tidak sehat, serta bagaimana cara menghindari hubungan yang tidak sehat,” ujar Evi.

      Evi juga menekankan pentingnya kemampuan komunikasi asertif, yaitu keterampilan menyampaikan pendapat secara tegas tanpa menyakiti orang lain. Kemampuan ini mencakup keberanian untuk mengatakan tidak terhadap hal-hal yang melanggar nilai, melampaui batas pribadi, atau merendahkan diri. Dengan komunikasi yang sehat, potensi eksploitasi dalam child grooming dapat dicegah sejak dini.

      Di tengah derasnya arus media sosial yang menampilkan standar hidup ideal, banyak remaja tanpa sadar mulai mengukur kebahagiaan dari pencapaian materi, validasi orang lain, atau pengakuan sosial. Padahal, kebahagiaan sejati tidak bersumber dari luar, melainkan dapat dibangun dari dalam diri. Remaja perlu diedukasi bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki benda atau dipuji orang lain, tetapi tentang bagaimana mereka mengenal dan menghargai diri sendiri.

      Di sinilah pentingnya menanamkan konsep self-love sejak dini. Self-love bukan sekadar mencintai diri sendiri, tapi juga kemampuan untuk menerima kekurangan, menghargai proses, dan menetapkan batas sehat dalam hubungan. Remaja yang tumbuh dengan self-love lebih tangguh dalam menolak tekanan, tidak mudah dimanipulasi, dan tahu bahwa cinta sejati tidak seharusnya menyakiti. Mengajarkan hal ini bisa dimulai dari kebiasaan kecil seperti memberi apresiasi pada diri sendiri, belajar mengenali emosi, hingga merangkul kegagalan sebagai bagian dari proses tumbuh.

      Saat anak dan remaja merasa dirinya bernilai, dicintai, dan dihargai baik oleh diri sendiri maupun lingkungannya mereka tidak akan mencari validasi dari pihak yang salah. Mereka bisa belajar bahwa cinta sejati tidak bersyarat, tidak membatasi kebebasan, dan tidak menyakiti secara emosional.

      Picture of Devina

      Devina

      Luvmelove's Author

      Leave a Reply

      Your email address will not be published. Required fields are marked *