
Luvmelove.com – Puluhan aktivis, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menggelar aksi menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto. Aksi ini berlangsung di depan Gedung Kementerian Sosial RI, Salemba, Jakarta Pusat, pada Kamis (15/5/2025) pukul 10.00 WIB, dan disertai audiensi dengan pihak kementerian. GEMAS menilai Soeharto bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan terhadap perempuan selama masa Orde Baru.
Di antara para peserta aksi, suara perempuan menonjol sebagai pengingat akan luka sejarah yang hingga kini belum sembuh. Vebrina Monicha salah satu orator yang juga aktivis di Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), turut menyuarakan penolakannya. Ia mengatakan bahwa keikutsertaannya dalam aksi ini dilandasi refleksi atas pengalaman orang tuanya yang membesarkannya di masa pemerintahan Soeharto.
“Kenapa ketika di zaman ketika aku lahir, orang tuaku harus seberjuang itu untuk membesarkan aku? ternyata banyak praktik kekerasan, terutama kejahatan-kejahatan pada manusia dilakukan oleh presiden Soeharto yang kemudian banyak mengorbankan orang-orang yang bahkan tidak mengerti politik, cuma yang tadinya ingin hidup berkeluarga ternyata harus berhadapan dengan kondisi sosial politik, ekonomi budaya yang tidak stabil,” Ujar Vebrina.
Sebagai perempuan dan aktivis, Vebrina menilai bahwa rezim Orde Baru menekan ruang gerak perempuan melalui berbagai cara. Saat itu, perempuan diposisikan sebagai warga negara kelas dua yang hanya dianggap penopang laki-laki dan bertugas mengurus rumah tangga. Menurutnya, meski kini banyak perempuan hidup mandiri atau dikenal sebagai independent women, tidak sedikit yang masih menyimpan trauma masa kecil akibat pengalaman orang tua mereka yang hidup dalam kerasnya masa Orde Baru dan kerusuhan 1998.
“Perempuan yang ingin berdaya sering terbentur dengan stigma bahwa mereka harus tunduk pada laki-laki—tak boleh pulang malam, dan dianggap tidak benar jika terlalu mandiri. Stigma ini membuat banyak perempuan akhirnya memilih diam, padahal potensinya sangat besar dan tidak seharusnya dibungkam oleh ketakutan yang diwariskan,” ujarnya.
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dinilai berisiko menghapus jejak luka masa lalu yang dialami ribuan korban. Menurut Vebrina, kekejaman yang terjadi selama pemerintahan Soeharto tidak boleh dilupakan begitu saja.
“Kalau kita melupakan sejarah, kita memberi ruang bagi tragedi kemanusiaan untuk terulang. Seperti tragedi Kanjuruhan 2023, keadilan tidak benar-benar ditegakkan. Mengingat sejarah adalah upaya agar tragedi seperti yang terjadi pada 1965 tidak terulang kembali,” tambahnya.
Lebih Jauh, Vebrina menekankan pentingnya bagi seluruh perempuan di Indonesia untuk tidak melupakan dan tidak berhenti menyuarakan sejarah kelam ini. Ada ratusan perempuan kehilangan nyawa, dan banyak lainnya harus hidup dengan trauma karena menyaksikan suami mereka dibunuh di depan mata, atau kehilangan suami dan anak tanpa kejelasan.
“Sebagai seorang perempuan, kalau kamu mau jadi perempuan yang berdaya, maka harus punya kesadaran akan sejarah, bagaimana perempuan zaman dulu tertindas. Kita harus belajar dari sana. Dari akar itulah kita bisa menyadari potensi diri dan memiliki dasar untuk melawan stigma terhadap perempuan yang selama ini dikucilkan dan diremehkan,” ujarnya.
Sebagai perempuan sekaligus aktivis HAM, ia berharap Kementerian Sosial menolak pengajuan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Menurutnya, seseorang yang memiliki catatan pelanggaran berat terhadap HAM dan pernah disebut sebagai presiden terkorup abad ke-20 tidak pantas menyandang gelar tersebut. “Pahlawan adalah sosok penyelamat,” ujarnya. “Bukan seseorang yang memiliki rekam jejak kejahatan.”