Source: https://www.freepik.com/

Luvmelove.com – Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.300 suku, ribuan bahasa daerah, dan warisan budaya yang kaya. Meskipun bangga dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun pada kenyataanya, keberagaman fisik yang merepresentasikan suatu identitas justru dilihat sebagai kekurangan hanya karena berpatok kepada satu standar kecantikan yang menurutnya ideal. Hanya karena takut “berbeda”, tuntutan untuk menjadi sempurna seperti ekspektasi orang-orang seringkali menjadi beban yang harus dipikul perempuan.

Begitulah yang dirasakan oleh Trifani, seorang perempuan yang tumbuh besar di Ambon, Maluku. Sebagai perempuan dari indonesia Timur, ia terlahir dengan rambut ikal, warna kulit yang gelap, dan lengan yang ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Sewaktu kecil, Trifani tak pernah melihat warna kulit dan rambutnya sebagai sesuatu yang berbeda. Sampai tiba saatnya ketika ia menerima cibiran karena rambutnya ikal oleh teman-teman sebaya di lingkungan tempat tinggalnya saat itu. Trifani mengaku saat di kampungnya ia kerap mendapatkan julukan “kribo” karena enggan meluruskan rambutnya yang ikal. Trifani mengaku, di kampung halamannya standar kecantikan masih erat dengan standar kecantikan yang dikonstruksikan media. Kebiasaan smoothing (meluruskan rambut) merupakan kebiasaan yang terus berulang seolah-olah sudah menjadi kewajiban yang perlu dilakukan untuk mencapai standar kecantikan yang ideal. 

Hal itulah memupuk rasa insecure di dalam dirinya seiring bertambahnya usia. Sebagai seorang remaja Trifani mulai merasa tertekan oleh standar kecantikan yang seolah mendefinisikan cantik berdasarkan warna kulit yang putih dan rambut yang lurus. Rasa insecure membuatnya mempertanyakan kualitas yang ada didalam dirinya, karena keunikan yang ada pada dirinya.

“Semakin dewasa kita perempuan lebih aware pada penampilan diri sendiri, jadi sempat berpikir “oh warna kulitku gelap, dibanding standar kecantikkan di Indonesia dan itu sempet buat insecure”. Kita dibuat bertanya-tanya, “aduh gue kurang nih, apakah gue kurang cantik? Apakah gue kurang pantas?” dan itu yang buat jadinya sakit hati dan bikin kita jadi insecure.” ujarnya.

Tekanan sosial yang ia dapati dari orang-orang disekitarnya membuatnya goyah untuk mempertahankan rambut aslinya dan mencoba mencerahkan warna kulitnya. Trifani mengakui bahwa dirinya pernah mencoba mengubah penampilannya hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain atas dirinya, terlebih agar diterima orang-orang disekitarnya. 

“Saat aku kelas 3 smp, aku memutuskan untuk smoothing rambut aku, karena aku ingin mengejar standar kecantikkan yang orang lain mau. Namun, sampai saat ini aku menyesal udah smoothing rambut dan memutuskan untuk kembali ke rambut aku yang natural meskipun masih sering dicatok.  Dan untuk warna kulit, juga awalnya aku sampe coba beberapa produk cuma akhirnya aku capek sendiri. Kayak yaudah yang penting kulit kita bersih dan sehat,” ujar Trifani.

Sebagai perempuan dari Indonesia Timur, Trifani mengakui perjuangannya terasa dua kali lipat lebih berat. Tak hanya harus menghadapi tantangan sebagai perempuan di tengah budaya patriarkis yang kerap menimbulkan ketidakadilan gender, ia juga membawa identitas sebagai perempuan berkulit gelap yang masih sering didiskriminasi dan dipandang sebelah mata.

“Sebagai perempuan Timur aku gak cukup hanya berdamai dengan diriku sendiri dan sebagai perempuan di tengah diskriminasi yang ada didunia ini, aku juga harus berjuang membuktikkan bahwa sebagai perempuan berkulit gelap ditengah standar kecantikkan diluar sana, kalau aku juga bisa,” tegasnya.

Sebagaimana pengalaman yang pernah ia alami, baginya tantangan semakin nyata ketika ia harus merantau ke Jakarta dan melanjutkan pendidikannya di sana, saat ia berusia 18 tahun. Berbekalkan nilai-nilai kemandirian yang diajarkan orang tuanya selama di Ambon, akhirnya Trifani mencoba untuk memberanikan dirinya meski  tempat yang sangat jauh dari kampung halamannya itu membuatnya takut. Ia berpikir bahwa dirinya akan sulit diterima atau mendapatkan perlakuan yang buruk karena identitasnya sebagai minoritas di tempat perantauannya itu. Namun perpindahannya ke Jakarta justru mengungkapkan perbedaan cara pandang terhadap penampilan. 

“Awalnya aku merasa takut kalo aku gak bisa diterima, tapi yang bikin aku kaget, justru di Jakarta aku lebih merasa diterima apa adanya dibanding di kampungku sendiri. Ternyata orang-orang di sini malah lebih terbuka, mereka bilang ‘nggak apa-apa kok rambutmu kriting, yang penting jadi diri sendiri,” ujar Trifani

Proses menerima diri sendiri bukanlah perjalanan yang mudah baginya. Perlu waktu yang panjang untuk akhirnya ia bisa menerima dirinya sendiri. 

“Aku sempat merasa tidak pantas untuk siapa pun, tapi lama-lama aku mulai sadar mau sampe kapan kita ikutin standar orang lain? Jadi pelan-pelan, aku belajar bahwa aku cukup, karena aku mikir ‘kalau kita aja gak bisa cinta sama diri sendiri, gimana orang lain mau cinta sama diri kita?,” tuturnya. 

Bagi Trifani peran keluarga dan lingkungan terdekat berperan besar dalam proses mencintai dirinya sendiri. Ia sangat bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukung dirinya.

“Mereka selalu support, bahkan hal-hal kecil yang aku lakukan selalu diapresiasi. Itu yang bikin aku makin percaya diri”.

Melalui pengalamannya ini, Trifani ingin terus bersuara agar perempuan dari Timur yang masih merasa takut, minder, dan merasa tak cukup hanya karena kulit atau rambut mereka, dapat memiliki rasa percaya diri bahwa warna kulit dan perbedaan bukanlah penghalang untuk kita dapat bersinar. Terlebih ia mengajak semua perempuan Timur untuk tidak berhenti berjuang karena kita semua memiliki kesempatan yang sama. 

“Jangan pernah merasa sendiri. Walaupun perjalanan ini nggak mudah, kita punya cahaya masing-masing. Jangan biarkan standar orang lain mematikan cahaya kita sendiri,” 

Trifani berharap masyarakat Indonesia berhenti menyamaratakan standar kecantikan, karena Indonesia sangatlah beragam. 

“Sudah saatnya kita, terutama para perempuan Indonesia, berhenti menggunakan standar kecantikan yang sempit seperti anggapan bahwa cantik itu harus putih. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat beragam. Setiap wilayah memiliki karakteristik fisik, budaya, dan identitas yang berbeda. Makanya kecantikan itu gak bisa dipukul rata karena justru keberagaman itulah yang menjadi kekayaan kita. Kesadaran ini harus dimulai dari diri sendiri, bahwa kita semua cantik dengan cara kita masing-masing,” tutup nya.

Picture of Devina

Devina

Luvmelove's Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *