Luvmelove.com – Pemerintah telah mengesahkan revisi RUU TNI yang memperluas peran militer dalam ranah sipil. Kebijakan ini memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI. Masyarakat, terutama aktivis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM, khawatir revisi ini dapat menghambat keadilan bagi korban pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan warga sipil pada era Orde Baru 1998.
Maria Katarina Sumarsih adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), korban penembakan dalam Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Peristiwa ini merupakan penembakan oleh aparat keamanan terhadap demonstran yang menolak Sidang Istimewa MPR. Saat itu, sidang tersebut dianggap masih mempertahankan sistem Orde Baru pasca lengsernya Soeharto, yang menjabat sebagai presiden selama 32 tahun. Masyarakat kala itu menuntut reformasi, termasuk pencabutan dwifungsi ABRI, yang memberikan militer dominasi dalam lembaga eksekutif dan legislatif pada era Orde Baru.
Sebagai seorang ibu sekaligus keluarga yang kehilangan seorang anak yang begitu dicintainya, Sumarsih mengatakan keresahannya yang menganggap bahwa Revisi UU TNI ini membuka kembali peluang keterlibatan militer dalam urusan sipil. Ia menilai revisi ini dapat memicu kembalinya praktik otoritarianisme, militeristik, dan korupsi, yang berpotensi menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil, seperti pada era Orde Baru.
Sumarsih juga menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers. Ia menanggapi insiden teror terhadap kantor Tempo, yang baru-baru ini menerima kiriman kepala babi tanpa telinga dan tikus tanpa kepala. Menurutnya, teror terhadap jurnalis merupakan ancaman bagi masyarakat secara luas, terutama kelompok yang rentan terhadap ketidakadilan.
“Sekarang kita bisa lihat perkembangannya, kantor Tempo dikirimi kepala babi dan tikus, ini menunjukan bahwa terjadi teror ya. Sementara bagi saya, apapun yang dikerjakan korban dan keluarga korban tanpa diliput dan diberitakan oleh wartawan, apa yang kami lakukan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya,” ujar Sumarsih.
Sumarsih juga menyatakan keprihatinannya terhadap tindakan represif aparat terhadap demonstrasi penolakan revisi UU TNI. “Saat ini kita melihat demonstrasi menolak revisi UU TNI di berbagai kota mendapat tindakan represif dari kepolisian,” ujarnya.
Sebagai ibu korban dan aktivis yang memperjuangkan keadilan, Sumarsih bersama keluarga korban pelanggaran HAM terus mencari keadilan melalui Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta. Hingga kini, Aksi Kamisan telah digelar sebanyak 856 kali sebagai bentuk perlawanan terhadap impunitas, upaya mengungkap kebenaran, serta menjaga semangat reformasi.
“Jadi yang kami suarakan di aksi kamisan, tidak hanya tuntutan pertanggung jawaban atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Tetapi dari awal aksi kamisan itu kami menyuarakan semua permasalahan yang terjadi di masyarakat”.
Aksi Kamisan menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk lebih kritis terhadap permasalahan rakyat. Terlebih, di tengah sulitnya lapangan pekerjaan bagi anak muda dan masih adanya ketidakadilan, revisi UU TNI yang baru disahkan memungkinkan aparat keamanan masuk ke dalam 16 lembaga negara. Sumarsih berharap seluruh warga negara Indonesia tetap kritis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga setiap pejabat pemerintah wajib mematuhi sumpah jabatan dan tunduk pada UUD 1945.
“Sebagai negara hukum, pemerintah seharusnya melaksanakan peraturan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR, kalau kebijakan atau undang-undang yang diterbitkan ini tidak pro rakyat, ini menjadi kewajiban kita semua untuk mengkritisinya. Agar rakyat hidup adil sejahtera seperti yang dimuat didalam pembukaan undang undang dasar 1945”.
Dalam perjuangannya selama ini, sekecil apapun Sumarsih selalu memelihara harapan. Ia percaya dalam cinta ada semangat dan harapan. Cinta Sumarsih dan keluarganya kepada Wawan membuatnya berkemauan untuk mewujudkan perjuangan Wawan dan kawan-kawannya yang belum selesai, yang dicantumkan dalam enam agenda reformasi khususnya dalam menegakkan supremasi hukum.
“Saya mencintai Wawan, ketika Wawan ditembak dan meninggal dunia, dukacita saya bertransformasi menjadi cinta terhadap sesama. Karena yang kami perjuangkan tidak hanya kasus Wawan saja, tetapi semua kasus, atau semua permasalahan yang dihadapi oleh rakyat seluruh Indonesia,” jelas Sumarsih.

Devina
Luvmelove's Author