Luvmelove.com – Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata ‘strategis’ dan ‘perhitungan’? Apakah yang terbayang laki-laki dan perempuan? Mengapa kata strategis terdengar seperti pujian, tapi perhitungan terasa seperti tuduhan, terutama jika diarahkan pada seorang perempuan?
Perempuan disebut ‘terlalu perhitungan’ hanya karena berpikir tiga langkah ke depan. Pernahkah kamu dicurigai karena kamu tidak hanya berani bermimpi—tapi juga berani menyusun strategi?
Saya pernah. Saya perempuan.
MISREAD INTENTIONS
Kala SMA, wakil kepala sekolah berkata saya harus maju untuk kandidat Ketua. Saya meragu. Jangankan untuk percaya saya bisa memimpin—mempercayai saya bisa bersuara terdengar rapuh di telinga. Memimpin di sekolah yang dominasi laki-laki dan hanya 48 perempuan; Teknik. Kaku. Maskulin—dapat dibayangkan rasanya bernafas dalam lingkungan yang tidak didesain untuk Perempuan menjadi seorang Ketua. Rasa gelisah tak henti-henti. Rasa bersalah yang terus menghantui—hanya karena merasa tak cukup menyandang status yang biasa dilekatkan pada laki-laki.
Ketika seorang perempuan punya ambisi, dunia akan mencibir. Karena untuk meraih mimpi, perempuan harus punya rencana, harus realistis, harus memperhitungkan, harus tahu kekuatan dan keterbatasan. Dan itu semua—menurut masyarakat—bukanlah sifat seorang perempuan. Ketika perempuan ingin mencoba memimpin, mereka tidak lepas dari stereotip bagaimana perempuan seharusnya bersikap dan berkehendak. Jangan terlalu tegas, masyarakat tidak suka. Jangan terlalu strategis, masyarakat tidak suka. Tolong bersikap manis, mungkin masyarakat akan suka. Kamu butuh suara untuk menang, tapi pelankan suara untuk mendapatkan; karena kamu Perempuan.
Perempuan seharusnya lemah. Perempuan seharusnya penurut. Perempuan seharusnya lembut. Perempuan seharusnya jadi Pemimpi, bukan Pemimpin. Perempuan memang Pemimpi—bermimpi tentang ruang yang setara, suara yang tak lagi dipotong, dan jalan yang tak selalu menanjak. Saat kita melakukan semua yang dibutuhkan untuk sukses, kita dianggap licik dan manipulatif. Padahal, kita hanya sedang berusaha bertahan hidup di dunia yang tidak adil. Laki-laki mendapatkan apresiasi karena pemikiran dan keberaniannya dalam memimpin. Perempuan bahkan dihardik sebelum memiliki kesempatan.
PRIVILEGE YANG TAK PERNAH DIPERTANYAKAN
Mengapa dunia takut dengan perempuan yang memimpin? Mengapa ini menjadi suatu fenomena ketika mereka memimpin? Unnatural. Tidak ada yang mempertanyakan intensi dan ambisi laki-laki yang menanjak tangga hirarki. Bahkan penggunaan kata untuk melabeli seorang perempuan yang memimpin pun tersirat makna politis. Perempuan yang memimpin dianggap bossy dan laki-laki adalah naturally-born leader. Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2025, terdapat 22,9% posisi kepemimpinan global yang dipegang perempuan (UN Women, 2025).
Dan itu sudah dianggap pencapaian. Namun, mengapa memimpin bagi perempuan, harus selalu menjadi sebuah pencapaian luar biasa? Mengapa bukan sebuah kewajaran? Laki-laki yang memimpin adalah kodrati, Perempuan yang memimpin adalah anomali. Laki-laki tegas, ia memiliki pandangan. Perempuan tegas, ia menyebalkan. Laki-laki ambisius, ia inspiratif. Perempuan ambisius, ia egois. Pertanyaannya sekarang bukan lagi “kenapa perempuan tidak memimpin?”, tapi kenapa dunia masih menolak ketika perempuan memimpin dengan cara yang tak sesuai selera patriarki?
KITA MENYEBUTNYA STRATEGI, MEREKA BILANG MANIPULASI
Pada tangga hirarki, umumnya kita melihat orang-orang memulai dari bawah. Beberapa memulai dari dasar yang gelap, beberapa lagi memulai dari tengah dan menyebutnya ambition. Kita menyebutnya, survival. Perempuan yang berhasil dalam kariernya acapkali harus menapaki tangga yang lebih curam dan licin dibanding rekan laki-lakinya. Hal ini bukan karena mereka lebih ambisius, melainkan karena penekanan bahwa posisi mereka akan mudah digeser jika tidak segera naik ke atas. Dunia berteriak padanya; you should know your place.
IT’S WHAT’S IN YOUR HEAD, NOT IN YOUR PANTS
Kita harus mulai menolak dikotomi usang: bahwa perempuan harus lembut, dan laki-laki harus kuat. Bahwa perempuan pengikut, laki-laki penggerak. Karena realitanya, banyak dari perempuan memimpin dengan visi, empati, dan ketegasan yang tidak diajarkan di ruang kelas. Perempuan memimpin bukan karena ingin tampak hebat. Perempuan memimpin karena jika tidak naik ke atas, dunia akan terus mendorongnya ke bawah.
Cara masyarakat memandang kepemimpinan sebagai sesuatu yang secara inheren maskulin adalah batasan yang tak terlihat namun tajam. Pandangan ini menciptakan kriteria sempit yang tak bisa diisi oleh perempuan, karena mereka harus tampil feminine agar dapat diterima. Menjadi perempuan berarti harus memenuhi konstruksi sosial tentang kelembutan, kesopanan, dan kepatuhan. Perempuan yang berani bicara lantang, berpikir kritis, atau bersikap tegas—sering kali dianggap pembangkang, kasar, atau bahkan tidak wajar. Padahal, kelayakan untuk menjadi pemimpin tidak seharusnya diukur dari cara berjalan, nada bicara, atau bentuk tubuh. Kepemimpinan bukan soal gender. Ia adalah soal kapasitas. Yang seharusnya dinilai bukan dari isi rok atau celana, tapi isi kepala.

Ananda Amalia
Author